Zakat Profesi : Gajian
Zakat Penghasilan, juga dikenal sebagai Zakat Profesi, merupakan konsep baru yang muncul dalam kerangka pemikiran Islam. Meskipun pada zaman Rasulullah praktik Zakat Penghasilan sudah ada dalam bentuk penarikan zakat untuk perdagangan, harta temuan (rikaz), hewan ternak, serta zakat pada emas dan perak, namun tidak ada ketentuan hukum yang jelas terkait jenis zakat ini dalam Al-Quran maupun Sunnah.
Dalam tradisi fikih Islam, konsep Penghasilan tidak termasuk dalam lima jenis objek wajib zakat yang meliputi emas, perak, uang simpanan, barang dagangan, hasil bumi, peternakan, dan tambang. Tidak ada penjelasan khusus mengenai zakat ini dalam pandangan Imam Mazhab yang empat. Perdebatan mengenai Zakat Penghasilan baru muncul saat seorang ulama Mesir, Yusuf Al- Qaradhawi, menulis buku berjudul “Fiqhus Zakah” yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1969. Dalam buku tersebut, Al-Qaradhawi membahas Zakat Penghasilan yang ia sebut sebagai “zakat atas penghasilan dari pekerjaan dan profesi bebas.”
Siapa Objek Wajib Zakat Penghasilan Menurut Muhammadiyah?
Melalui Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih XXV tahun 2000 di Jakarta, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan keputusan terkait Zakat Penghasilan. Majelis Tarjih menyatakan bahwa menurut pandangannya, Zakat Penghasilan atau Zakat Profesi adalah wajib. Namun, pelaksanaan kewajiban zakat pada penghasilan tidak dapat dilakukan secara langsung. Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu tercapainya haul dan nisab. Haul (periode waktu) adalah jumlah total penghasilan bersih seseorang dari tempat kerja yang bersangkutan selama satu tahun (12 bulan).
Nisab, dalam konteks Zakat Penghasilan, adalah batas minimal yang ditetapkan untuk menentukan kewajiban zakat. Seseorang baru diwajibkan membayar Zakat Penghasilan jika total penghasilan bersihnya selama 12 bulan mencapai nilai nisab, yang diukur berdasarkan harga 85 gram emas 24 karat. Apabila kedua syarat tersebut terpenuhi, kadar Zakat Penghasilan ditetapkan sebesar 2,5% dari total penghasilan bersih tersebut.
Dalam contoh yang diberikan, mari kita hitung Zakat Penghasilan untuk Asep, seorang pegawai kantoran di Kota Bandung, yang memiliki penghasilan sebesar Rp3.000.000,00 per bulan. Langkah pertama adalah mengurangkan gaji pokok dengan kebutuhan pokok bulanan yang wajib. Mari kita asumsikan bahwa setelah dikurangi, gaji bersihnya adalah Rp1.900.000,00. Selanjutnya, gaji bersih ini akan dikalikan dengan haul atau putaran waktu, yaitu 12 bulan.
Sehingga, hasil penghitungannya adalah Rp1.900.000,00 x 12 = Rp22.800.000,00. Kemudian, kita ukur hasil penghitungan tersebut dengan nisab Zakat Penghasilan, sesuai dengan harga 85 gram emas murni 24 karat. Jika harga emas murni 24 karat per gram pada hari ini adalah Rp931.000,00, maka nisab Zakat Penghasilan adalah 85 x harga emas per gram, yaitu 85 x Rp931.000,00 = Rp79.135.000,00. Jadi, berdasarkan perhitungan tersebut, Asep wajib membayar Zakat Penghasilan jika penghasilannya selama 12 bulan mencapai atau melebihi nisab sebesar Rp79.135.000,00.
Dengan demikian, gaji bersih Asep yang telah dikalikan dengan haul (12x) sebesar Rp22.800.000,00 tidak mencapai nisab harga 85 gram emas senilai Rp79.135.000,00. Dengan kata lain, Asep tidak diwajibkan membayar zakat profesi. Namun, bagi orang lain yang memiliki penghasilan di atas Asep dan mencapai nisab 85 gram emas, tentu saja mereka wajib membayar zakat dengan cara menghitung 2,5% dari besaran gaji bersih bulanan mereka. Pembayaran zakat dapat dilakukan setiap bulan atau secara kumulatif, yaitu sekali dalam setahun.
oleh : Ariq Maulana Zahran (Mahasiswa UIN Bandung)