Meraih Berkah Dengan Ekonomi Syariah
وَهٰذَا ذِكْرٌ مُّبٰرَكٌ اَنْزَلْنٰهُۗ اَفَاَنْتُمْ لَهٗ مُنْكِرُوْنَ
“Dan Al Quran ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya?” (Q.S Al-Anbiya:50)
Berkah itu tidak selalu identik dengan harta atau jumlah yang banyak, sesuatu yang sedikit namun berkah mampu mendatangkan kebahagiaan. Keberkahan waktu, sehingga mampu melakukan banyak hal dan bermanfaat dengan waktu yang ada. Keberkahan pada rezeki, sehingga yang terasa adalah selalu rasa cukup terhadap harta yang diberikan. Keberkahan ilmu yang membuat amal semakin ringan untuk dilakukan.
Islam adalah agama yang sempurna, mengatur hubungan manusia dengan Rabb-nya dan mengangut hubungan sesama manusia (muamalah) salah satunya kehidupan berekonomi. Bagi Islam, berekonomi bukanlah sekedar mendapatkan keuntungan harta duniawi, tetapi juga bertujuan untuk memperoleh‘falah’ yaitu kebermanfaatan dunia dan akhirat.
Maka pada ekonomi syariah hendaknya mampu melahirkan unsur keberkahan dalam setiap aktivitas yang dilakukannya. Nilai dan falsafah tersebut antara lain:
1. Nilai dan Falsafah Tauhid
Saat berbisnisnis atau bergadang, ia tidak akan memproduksi atau menjual barang/jasa yang dilarang oleh agama serta merusak akal dan jiwa manusia seperti minuman yang memabukkan dan sejenisnya. Ia juga tidak akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan dengan menipu, bersumpah palsu, menyuap, mempermainkan harga, menimbun barang, memakan riba dan lain sebagainya. Ia juga akan memperhatikan lingkungan dan keberlangsungan sumber daya alam dan tidak merusaknya dengan semena-mena. Ia juga tidak akan mengeksploitasi para pekerja dengan membayar upah sesuai hak mereka dan tidak menunda-nunda dengan sengaja. Aktivitasnya dalam mencari nafkah tidak akan membuat dia lupa dan lalai akan kewajiban ibadahnya.
Dalam mengonsumsi barang atau jasa, ia akan sederhana, selektif dan tidak israf (berlebih-lebihan). Segalanya dihitung sesuai dengan skala prioritas apakah itu adalah kebutuhan primer (dharuriyat), kebutuhan sekunder (hajiyat), atau hanya sekedar kebutuhan tersier (tahsiniyat).
Nilai dan falsafah tauhid ini akan membuat tangannya mudah untuk berbagi dan tidak hanya memperhatikan kepentingan dirinya sendiri tetapi juga didistribusikan untuk kaum kerabat, dan orang lain di sekitarnya baik melalui zakat, infak, sedekah, wakaf, hadiah, hibah, dan berbagai macam metode distribusi lainnya.
2. Nilai dan Falsafah Ahlak
Seorang penjual yang berakhlak tidak akan kikir dalam menentukan harga terlebih lagi jika pembelinya adalah seorang yang susah dan sangat membutuhkan barang tersebut. Sebaliknya, seorang pembeli yang berakhlak tidak akan menyusahkan penjual dengan menawar dengan harga yang sangat rendah.
3. Nilai dan Falsafah Keadilan
Bagi Islam, keadilan sosial yang dimaksud adalah keadilan yang hadir dari rasa persaudaraan (ukhuwah), rasa cinta mencintai (mahabbah) dan saling tolong menolong (ta’awun). Hal itu tercermin dari konsep-konsep pemerataan yaitu zakat, wakaf, infak, sedekah, dan lain sebagainya. Semua konsep ini hakikatnya bermuara pada mengecilnya kesenjangan antara mereka yang berpunya harta (kaya) dengan mereka yang kekurangan harta (miskin).
Masyarakat yang diisi orang-orang yang tidak saling tolong menolong kecuali berharap adanya keuntungan adalah masyarakat yang akan saling memangsa antara satu dengan lainnya apabila ada kesempatan. Para korban rentenir akan menempuh cara-cara kejahatan untuk keluar dari riba yang melilit kehidupan keluarganya. Rasa aman dan tenteram hilang berganti dengan bahaya dan ketakutan.
Dalam bunga bank konvensional, pemilik modal adalah orang yang sangat diuntungkan karena dalam kondisi apapun ia tetap akan memperoleh bunga tanpa usaha dan berkeringat. Islam kemudian mengganti sistem bunga dengan profit loss sharing (berbagi untung dan risiko) yang jelas lebih berkeadilan.
4. Nilai dan Falsafah Kerjasama
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda :
“Allah SWT berfirman, ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang melakukan perserikatan (perkongsian) selama pihak-pihak yang terlibat tidak saling mengkhianati. Apabila terjadi pengkhianatan, maka Aku keluar dari perserikatan tersebut.” (HR. Abu Dawud)
Lalu apakah kita butuh “keberkahan”? Kita mungkin pernah melihat orang yang diliputi dengan harta yang melimpah, tapi merasa kekurangan. Mempunyai ilmu tetapi tidak tahu harus melakukan sesuatu dengan ilmunya. Punya pasangan hidup, tapi merasa tidak bahagia.
Boleh jadi, penyebabnya adalah karena kehilangan keberkahan dalam hidup. Keberkahan adalah pemberian Allah SWT. Membuat yang sedikit, terasa banyak. Membuat yang sempit, terasa lapang. Susah menjadi mudah, berat terasa ringan. Keberkahan tidak datang dengan maksiat, namun diberikan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa.
Maka, tidak ada cara dan solusi yang paling tepat kecuali menjadikan diri dan negeri ini layak menerima limpahan keberkahan yang turun dari atas langit dan keluar dari perut bumi. Menyadari bahwa apapun yang berada di langit dan bumi adalah milik Allah SWT. Dia memberikannya kepada manusia sebagai khalifah untuk diurus dengan cara-cara yang telah digariskan-Nya. Sehingga pada akhirnya, negeri yang kaya raya bernama Indonesia menjadi Negara yang baldatun tayyibatun wa rabbun Ghafur. Aamiin Ya Rabbal Aalamiin
Sumber :
Salahuddin El Ayyubi, LC, MA